Senin, 22 September 2008

Serangan Pemikiran Barat Terhadap Kaum Muslim

Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan sekaligus membuat aturan tertentu bagi kehidupan. Kehidupan itu sendiri tidak pernah menyimpang dari aturan tersebut. Allah SWT juga menciptakan perang antara kebenaran versus kebatilan sebagai bagian dari aturan tersebut. Kebatilan tidak pernah berkompromi dengan kebenaran; kebenaran pun tidak akan pernah mendiamkan kebatilan. Perang abadi ini kadang-kadang berwujud perang pemikiran, perang politik, ataupun perang militer yang sangat mematikan.

Sekilas, jika kita menelusuri kembali perjalanan Rasulullah Saw, kita akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang senantiasa memerangi kebatilan dengan dakwah Islam; baik secara pemikiran, politik, maupun fisik. Rasulullah Saw telah menghancurkan pemikiran-pemikiran orang-orang kafir Quraisy di Makkah dan menyerang akidah mereka, tanpa pernah mempedulikan celaan dari orang-orang yang mencela. Pada saat di Madinah, beliau membuat perjanjian dengan Makkah, kemudian mengumumkan perang, dan akhirnya menaklukkan Makkah.

Allah SWT selalu menolong beliau dari musuh-musuhnya dalam medan pergolakan dan peperangan. Bahkan, setelah beliau wafat, perang ini terus berlanjut. Bagaimanapun, peperangan dan sunnah Allah di dunia ini tidak akan berhenti.

Dulu, umat Islam telah bertarung dengan musuh-musuhnya, dan sekarang pun mereka bertarung melawan kaum kafir kapitalis-sekularis. Oleh karena itu, pertarungan umat Islam dengan umat-umat lain merupakan suatu hal yang alami, bahkan ia merupakan aktivitas umat Islam yang hakiki.

Mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia dan menegakkan hujjah yang haq tidak lain merupakan upaya untuk memerangi kekufuran dan kebatilan. Ini adalah suatu fakta yang lahir dari akidah Islam, kenyataan, dan sejarah. Kenyataan ini akan tetap berlangsung, tidak akan pernah berubah ataupun berganti. Akan tetapi, hakikat pergulatan di sini berbeda dengan cara (uslûb), wasilah, maupun model-model yang digunakan dalam kancah pertarungan tersebut. Barat, misalnya, mencekoki kaum Muslim dengan pemikiran kristiani dan sekularisme secara langsung, yakni dengan mengirim para misionaris dan teror. Akibatnya, umat mencampakkan Islam dan meninggalkan agamanya, bahkan akhirnya memeluk pemikiran kufur dan meninggalkan pemikiran Islam. Mereka berupaya mempertahankan dan menggunakan cara keji yang telah membawa keberhasilan cukup gemilang ini sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.

Cara (uslûb) mereka bermacam-macam bentuknya. Saat ini, cara yang mereka gunakan adalah melalui pencitraan Islam dengan citra yang sangat buruk, atau mencitrakan pemikiran Barat-sekular sebagai pemikiran Islam. Pengemban pemikiran Barat-sekular ini tidak terbatas hanya para orientalis atau misionaris saja, tetapi kaum Muslim dan jamaah Islam. Sikap mereka itu boleh jadi karena mereka telah terpukau oleh pemikiran Barat; bisa juga merupakan bentuk pengkhianatan kepada umat dan agama Islam; atau mungkin juga mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa dengan itu mereka telah membantu kepentingan Barat dalam rangka menyebarkan berbagai pemahaman Barat di tengah-tengah kehidupan. Terlepas dari apa pun motif mereka, yang pasti, hasilnya adalah semakin terkristalnya pemikiran kafir Barat di benak kaum Muslim dan terjauhkannya kaum Muslim dari jalan kebangkitan yang benar.

Sekularisme, Pragmatisme, Dan Rasionalisme-Pasif


Setidaknya, ada tiga pemikiran yang dicekokkan pihak Barat-sekular kepada kaum Muslim—yang sebenarnya merupakan pemikiran kufur dan sesat serta tidak ada hubungan sama sekali dengan Islam.

Pertama, sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Pemikiran ini merupakan dasar dari peradaban Barat dan sekaligus sudut pandang kehidupan mereka. Menurut orang Barat, agama hanyalah simbol-simbol dan ritual-ritual tertentu yang bersifat individual, dan bukan bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kita menemukan bahwa agama, menurut orang Barat, hanya memecahkan masalah-masalah seperti nikah, talak, shalat, akhlak, dan ritual-ritual tertentu; tidak ada hubungannya dengan bidang ekonomi, pemerintahan, politik luar negeri, penguasa, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan dan masyarakat. Pemahaman semacam ini dicekokkan kepada kaum Muslim tidak hanya melalui para pengemban ide sekularisme saja, tetapi, sangat disayangkan, ditempuh juga dengan cara yang sangat keji, yakni melalui para pengemban dakwah Islam, para ulama, serta sejumlah jamaah Islam. Tanpa memandang apakah pemahaman tersebut dicekokkan oleh para pendakwah tersebut kepada umat secara sadar atau tidak, tetapi hasilnya sama. Betapa sering kita mendengar ungkapan-ungkapan yang mendukung ide-ide ini. “Urusilah dirimu sendiri”; “Tolak politik dan beramallah untuk membangun keimananmu”; “Umat belum siap untuk mengoreksi penguasa dan membincangkan sistem pemerintahan. Saat ini kita harus memperbaiki diri kita sendiri”; “Para pemuda wajib untuk tidak menyibukkan diri dengan urusan-urusan politik, tetapi harus berkonsentrasi untuk menuntut ilmu.”

Demikianlah, puluhan tahun mereka menyibukkan umat dengan sebagian kecil ajaran Islam yang terputus dari pemecahan Islam yang sempurna terhadap persoalan-persoalan yang terjadi. Mereka mempelajari hukum-hukum Islam tanpa dikaitkan dengan keberadaan akidah Islam sebagai bagian dari metode kehidupan Islam, tetapi sekadar sebagai ajaran ritual belaka seperti di gereja. Akibatnya, mereka mengabaikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hudud dan jihad; mengabaikan realitas negaranya: apakah negara Islam atau negara kufur; mengabaikan sejumlah hukum perjanjian dan hal-hal yang berhubungan dengannya; serta mengabaikan aturan-aturan kufur yang diberlakukan atas mereka.

Upaya-upaya kafir Barat ini telah memetik keberhasilan yang sangat gemilang sejak umat Islam memahami Islam sekadar sebagai ibadah ritual dan syiar-syiarnya saja; tidak ada hubungannya dengan kehidupan. Mereka membiarkan kaum Muslim leluasa berkutat di dalam masjid, tetapi tanpa mempedulikan lagi dijauhkannya hukum Allah SWT dari kehidupan dan masyarakat. Artinya, umat tidak mempedulikan lagi diterapkannya aturan kufur atas mereka. Bahkan, meskipun mereka tahu bahwa berhukum dengan aturan kufur merupakan dosa, mereka tidak menyadari hal tersebut sebagai perkara hidup dan mati bagi mereka. Lebih tragis lagi, mereka menganggap upaya menerapkan syariat Islam dengan menegakkan daulah-khilafah sebagai tujuan yang masih sangat jauh dan hanya akan tercapai pada masa yang sangat panjang. Sementara itu, sekarang adalah saatnya untuk memperbaiki masalah-masalah individual. Demikianlah, semua anggapan semacam ini akhirnya semakin mengkristalkan pemikiran sekularisme, meskipun pengembannya mungkin tidak menyadarinya.

Kedua, pragmatisme (asas manfaat). Pemikiran ini merupakan derivasi logis dari pemikiran sekularisme. Mereka mendefinisikan kebahagian sebagai “diperolehnya kenikmatan ragawi sebesar-besarnya”. Atas dasar ini, mereka membuat standarisasi bagi seluruh perbuatan mereka atas dasar kemanfaatan (kemaslahatan) yang muncul dari hawa nafsu dan syahwat mereka. Pemikiran ini disebarkan kepada kaum Muslim tidak hanya oleh para “pengemban dakwah Islam” saja, tetapi juga oleh jamaah Islam yang telah menjadikan aspek kemaslahatan (kepentingan) yang bersumber dari hawa nafsu sebagai tolok ukur metode dakwah mereka; tentunya setelah mereka membungkusnya dengan baju Islam. Mereka berbuat kadang-kadang atas dasar “kemaslahatan” dakwah; kadang-kadang pula didasarkan pada fiqh muwâzanah (fikih perbandingan), meskipun hasilnya tetap saja sama, yakni semakin jauhnya hukum-hukum syariat, atau malah bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Misalnya, ada sebagian jamaah yang menyerukan demokrasi bukan karena mereka mengimani demokrasi, tetapi karena demokrasi telah memberikan kebebasan berdakwah bagi mereka, atau karena demokrasi telah menjadikan mereka bebas untuk melontarkan pernyataan-pernyataan semisal, “Kami tidak melawan sistem yang ada” atau, “Kami mendukung eksistensi sistem sekarang.” Mereka menyerukan demokrasi dengan alasan, demokrasi telah membolehkan mereka untuk berserikat dengan pemerintahan kufur. Dalihnya klasik: ingin melakukan perubahan dari dalam, sementara mereka bisa berkolaborasi dengan partai-partai sekular untuk membuat opisisi terhadap pemerintahan.

Bukti yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa kemaslahatan telah dijadikan tolok ukur oleh sebagian besar “pengemban dakwah Islam” adalah sebagaimana yang pernah terjadi di Yordania.
Salah satu wakil rakyat dari sebuah partai Islam telah memberikan dukungan kepada pemerintah hanya karena pemerintah telah berjanji kepada mereka untuk membangun jalan tembus di wilayah mereka. Wakil yang lain menolak untuk tidak memberikan dukungan kepada pemerintahan karena mereka telah dijanjikan kedudukan strategis jika wilayahnya mendukung pemerintah pada putaran pemilu tahun berikutnya. Apakah ini untuk kepentingan Islam ataukah untuk kepentingan diri sendiri? Na’udzu billâhi min dzâlik.

Sebaliknya, mereka mencela orang-orang yang senantiasa menentang para penguasa atas dasar Islam. Padahal, justru merekalah orang-orang yang telah bergelimang dengan hawa nafsu, dan tidak lagi memiliki “kebijaksanaan”. Bahkan, mereka telah melarang kaum Muslim untuk melawan para penguasa dengan aturan-aturan kufurnya, serta melakukan pengkhianatan dengan dalih, “menjaga keselamatan individu para pengemban dakwah, profesi-profesi mereka, serta kepentingan-kepentingan mereka.”

Demikianlah, Islam tidak lagi dijadikan sebagai tolok ukur bagi dakwah Islam. Sebaliknya, dakwah Islam akan dilakukan jika berjalan sesuai dengan kemaslahatan serta tidak mengundang bahaya dan kesulitan bagi para pengembannya.

Sikap semacam ini bukanlah bagian dari ajaran Islam yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi ajaran Islam yang telah mengalami sekularisasi sesuai dengan standarisasi Barat dan kemaslahatan yang didasarkan pada hawa nafsu. Upaya-upaya semacam ini justru telah mengkristalkan asas manfaat sebagai tolok ukur bagi kaum Muslim, yang telah diupayakan oleh kafir Barat siang dan malam untuk ditanamkan pada benak mereka. Akibatnya, tidak aneh jika akhirnya umat didominasi oleh pandangan-pandangan kafir Barat, sekaligus mengantarkan kafir Barat sebagai pemimpin bagi umat Islam. Hasbunallâh wa Ni’ma al-Wakîl.

Ketiga, rasionalisme-pasif. Barat memandang bahwa antara akal dan agama merupakan dua sisi yang tidak bisa disatukan. Agama tidak berhubungan sama sekali dengan akal. Demikian pula sebaliknya. Agama harus diterima dengan sikap pasrah (dogmatis). Bahkan, mereka berpendapat bahwa agama dan akal akan selalu bertentangan. Pemikiran ini kita dapati saat terjadi pertarungan antara pihak gereja dengan para ilmuwan. Agama bagi mereka (gerejawan) adalah dogma yang bergantung pada kebijakan gereja. Pemahaman Barat terhadap agama semacam ini dicekokkan kepada kaum Muslim oleh sebagian generasi Islam dengan jalan mengajarkan Islam kepada mereka dengan bentuk yang dogmatis. Agama diambil dengan sikap pasrah dari generasi salaf mereka tanpa pernah mereka pikirkan dengan akal. Kebenaran akidah Islam bahkan harus dibangun atau harus sesuai dengan “keyakinan para salaf mereka”. Mereka menyerang orang-orang yang menyatakan bahwa akidah Islam wajib dibangun atas dasar akal dan akal harus digunakan sebagai pemutus kebenaran akidah Islam. Kadang-kadang mereka menyebut orang-orang semacam ini dengan sebutan kaum “rasionalis” dan kadang-kadang dengan sebutan, “neo-Mu’tazilah”. Pasalnya, mereka tidak memahami bagaimana akidah Islam diambil dan sejauh mana penggunaan akal dalam Islam dibolehkan. Mereka selanjutnya turut andil dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Barat tentang hubungan akal dengan agama (yang dianggap tidak mungkin bisa bersatu). Pada gilirannya, mereka hanya menonjolkan Islam hanya pada aspek-aspek ritual-dogmatis saja—seperti saat Barat berada pada masa kegelapan (Dark Age).

Sikap Dan Jawaban Islam


Bercokolnya pemikiran seperti ini di tengah-tengah masyarakat telah membawa kemunduran umat dan semakin menambah persoalan tersendiri. Anehnya, pemikiran ini banyak diemban oleh para pendakwah Islam serta sejumlah jamaah Islam. Oleh karena itu, harus ada sebuah kelompok yang sadar dan progressif yang bertugas mengembalikan Islam yang bersih dan suci ke dalam benak dan hati kaum Muslim, yakni Islam sebagaimana yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Kelompok ini harus menjelaskan pemikiran-pemikiran tersebut kepada umat, jamaah Islam, dan para pengemban dakwah tersebut sebagai bagian dari komunitas masyarakat.

Atas dasar itu, saudara-saudara kita yang hanya menyerukan hukum-hukum fardhiyah saja dan mengabaikan hukum-hukum yang berhubungan dengan kemasyarakatan harus disadarkan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh yang menjelaskan semua urusan kehidupan. Allah SWT telah memerintah kita agar kita mengambil Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Allah SWT juga melarang kita meninggalkan sebagian hukum Islam serta melakukan diskriminasi terhadap perintah dan larangan-Nya. Allah SWT berfirman:

Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan azab kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), yaitu mereka yang telah menjadikan al-Quran itu terbagi-bagi. Demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semuanya tentang apa yang mereka kerjakan dahulu. (Qs. al-Hijr [15]: 90-93).

Oleh karena itu, ajaran Islam tidak boleh diperlakukan diskriminatif, atau sebuah hukum dilebihkan atas hukum yang lain, atau Islam diklasifikasikan atas dasar urgensitas dan prioritasnya; kecuali bila ada dalil syariat yang menunjukkan hal tersebut.

Para pengemban pemikiran tentang asas manfaat (kemaslahatan berdasarkan hawa nafsu) harus dipahamkan bahwa Islam memiliki pandangan khusus tentang kemaslahatan, yakni, “Di mana ada hukum syariat, disitu pasti ada kemaslahatan (Haytsuma kâna as-syra’u fa tsammat mashlahah)”, bukan sebaliknya.

Kita, sebagai kaum Muslim, harus melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh syariat kepada kita tanpa memandang lagi apakah hal itu membawa manfaat atau bahaya bagi diri kita. Kemaslahatan bagi kita adalah kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syariat, bukan ditentukan oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, kita mesti mencamkan firman Allah SWT berikut:

Diwajibkan atas kalian berperang, sementara perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Akan tetapi, boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui. (Qs. al-Baqarah [2]: 216).

Jika demikian, di manakah letak kemasla-hatan pada sabda Rasulullah Saw berikut:

Pemuka para syahid adalah Hamzah ibn ‘Abd Muthalib dan seorang laki-laki yang berdiri di muka penguasa fajir, lalu lelaki itu menasihatinya, dan kemudian penguasa itu membunuhnya.

Di mana pula tolok ukur kemaslahatan pada sabda Rasulullah Saw berikut:

Jihad yang paling utama di sisi Allah adalah kalimat haq yang ditujukan pada penguasa fajir.

Bukankah nash-nash ini telah menjelaskan bahwa kaum Muslim diperintah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa, serta memberantas kezaliman meski itu bisa membawa risiko kematian? Lalu, di manakah kemaslahatan ‘aqliyyah-nya di sini?

Sementara itu, orang yang mengkonfron-tasikan akal dengan agama, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh filosof dan gerejawan, maka kita harus menjelaskan kepada mereka, bahwa Islam adalah agama yang berlaku menyeluruh untuk seluruh manusia. Apabila kita harus mengebiri akal dari agama, lalu atas dasar apa kita mengajak manusia untuk menyakini agama? Apa bedanya antara Islam dengan Kristen pada kondisi semacam ini? Bagaimana pula cara kita bisa mengetahui keabsahan Kitab dan Nabi kita Muhammad Saw?

Untuk itulah, peran akal telah diakui keberadaannya dalam Islam. Akan tetapi, kami tidak menyerukan penggunaan aspek rasionalitas secara mutlak, karena seruan semacam ini keliru. Islam telah membatasi peran akal tetapi tidak berarti memberangusnya secara keseluruhan. Pemberangusan peran akal secara keseluruhan pada dasarnya bertentangan dengan prinsip akidah Islam; dengan keberadaannya yang mesti dibangun atas dasar akal. Sikap demikian juga bertentangan dengan ratusan ayat yang diserukan kepada ulil albâb, ulil nuhâ, dan ulil abshâr agar mereka memikirkan alam semesta; mengungkap rahasia-rahasianya; serta memahami bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh al-Khâliq, Allah SWT, yang wajib diesakan dalam ibadah. Setelah itu, akal digunakan untuk membangun keimanan pada risalah Nabi Muhammad Saw. Setelah keimanan ini terbentuk, baru dijelaskan tentang peran wahyu yang telah membatasi peran akal hanya sebagai alat untuk memahami nash-nash dan fakta, tanpa memposisikannya sebagai hakim (penentu benar dan salah) secara mutlak. Pembatasan atas peran akal seperti ini akan menghindarkan keimanan dari omong-kosong dan keraguan; dari sekadar prasangka atau sikap taklid kepada nenek moyang; serta dari pengingkaran terhadap bulatnya bumi, beredarnya bumi mengelilingi matahari (revolusi), dan seterusnya.

Dalam masalah akidah dan keimanan terhadap eksistensi Allah SWT. Allah SWT berfirman:

Apakah mereka tidak menaruh perhatian pada unta, bagaimana diciptakan; pada langit, bagaimana ditegakkan; pada gunung-gunung, bagaimana dipancangkan; dan pada bumi, bagaimana dihamparkan? (Qs. al-Ghasiyah [88]: 17-20).

Allah SWT juga memerintah kita agar kita memikirkan mukjizat Rasulullah Saw agar kita bisa mendapatkan pembenaran terhadap kenabian beliau. Allah SWT berfirman:

Jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad ), buatlah satu surat saja yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah jika kalian orang-orang yang benar. (Qs. al-Baqarah [2]: 23).

Allah SWTuga berfirman:

Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muhammad [47]: 24).

Setelah itu, Allah menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar mereka melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta selalu berhukum dengan semua hukum-Nya. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 59).

Allah SWT juga berfirman:

Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).

Betapa indah apa yang dikatakan Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ketika memberikan sifat kepada dua kelompok orang —yang menghukumi segala sesuatu dengan akal dan yang menolak penggunaan akal— dengan kalimat:

Kami tidak menjumpai kelompok yang sangat menolak penggunaan akal daripada dua kelompok berikut ini: (1) kelompok yang menolak peran akal secara mutlak; (2) kelompok yang memahami al-Khaliq sebagai “sesuatu” yang tidak bisa dipikirkan. Kemudian, mereka memahami al-Khaliq dan mengatur al-Khaliq dengan suatu aturan yang mereka wajibkan agar al-Khaliq tidak menyimpang dari aturan tersebut, yakni sesungguhnya perbuatan-perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan berlangsung (terjadi) kecuali berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka tetapkan. Kedua kelompok ini sesungguhnya telah berdusta dengan kedustaan yang sangat besar dan mendirikan bulu roma bagi orang yang memiliki akal. Sungguh, kami terdorong untuk menjelaskan apa hakikat akal itu.

Akal adalah mencerap sesuatu yang terindera dengan indera dan pemahaman, kemudian memahami sifat-sifat yang dikandungnya berdasarkan apa yang terjadi pada sesuatu itu. Seseorang akan mengetahui —hanya dengan perantaraan akalnya— keesaan al-Khaliq, keabsahan kenabian orang yang memiliki bukti-bukti kenabian, serta kewajiban untuk taat kepada Yang telah menjanjikan neraka (ketika melakukan) maksiat kepada-Nya, serta seluruh perbuatan yang pembenarannya cukup dibuktikan oleh akal. Akan tetapi, akal tidak bisa menjangkau syariat-syariat Allah SWT. Ia harus menerima cara-cara yang telah ditetapkan dalam syariat apa adanya. Daging babi itu haram atau halal; kambing hutan itu haram atau halal; mengapa shalat zuhur empat rakaat atau shalat magrib tiga rakaat, semua ini bukanlah lahan yang mampu dicerap akal. Akan tetapi, akal hanyalah berfungsi untuk memahami perintah-perintah dari Allah SWT.

Kami tidak menduga bahwa keberadaan tiga pemikiran ini secara berangsur-angsur telah menjadi pemikiran yang memukau dan membelalakkan mata. Padahal, ketiga pemikiran ini tidak pernah bisa melahirkan generasi Islam, tetapi justru “generasi Barat”. Ketiga pemikiran tersebut juga telah menjadikan Islam layaknya agama Kristen, memberangus hukum syariat yang telah dijadikan sebagai standar perbuatan di dalam kehidupan, dan mematikan dakwah untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Kaum Muslim sudah seharusnya senantiasa hidup sesuai dengan hukum-hukum Islam serta mengemban risalah Islam sebagai petunjuk bagi seluruh penjuru alam. Mereka tidak boleh berdiam diri terhadap pemikiran-pemikiran semacam ini karena telah nyata menimbulkan kehancuran umat. Pemeluk pemikiran-pemikiran semacam ini, sadar atau tidak, telah membantu kepentingan orang kafir, sekaligus memperpanjang umur orang kafir di negeri-negeri dan benak kaum Muslim. Bahkan, sadar atau tidak, mereka telah menjauhkan Islam dari kehidupan serta mencegah kembalinya Islam dalam kehidupan. Oleh karena itu, kita wajib menyerang pemikiran-pemikiran mereka dengan berbagai pemikiran dan hukum Islam dengan segenap kekuatan tanpa harus mempedulikan hasil dan akibatnya.


Tidak ada komentar:

FoRuM ChAt

Create a Meebo Chat Room